Pimpinan dan Dewan Guru Al Azhar Syifa Budi |
Mengenang perkataan guru kami Drs. H. Kusnadi, MP.d saat mengikuti pelatihan guru baru di Sawangan Depok tahun 2012 silam, bahwa meski anda 'terpaksa' menjadi guru maka jadilah guru yang baik karena kadang segala sesuatu yang baik kadang berawal dari keterpaksaan. Kata 'terpaksa' seolah negatif ditelinga tapi itulah sesungguhnya realita yang saya tempuh dan bisa jadi rekan rekan guru seperjuangan mengalami 'keterpaksaan itu juga'.
Jika dulu bu Ani (nama guru SD saya di Kebon jeruk Jakarta) bertanya "Apa cita-citamu?" maka saya segera mengacungkan tangan dan menjawab "Menjadi guru bu". Saat itu dibenak saya profesi hanyalah menjadi seorang guru, karena ayah saya juga seorang guru. Namun saat Pak Abu Bakar (nama guru SMP saya di kebon jeruk) bertanya apa cita-citamu?. Saya tak lagi seagresif menjawab seperti SD dulu. Mengingat jika dirumah ayah saya yang seorang guru kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sekeluarga kami. Gajian tanggal 5 tanggal 15 seolah gaji itu telah habis dan kamipun harus makan seadanya. Bayangan cita-cita menjadi guru seakan terkikis dengan kenyataan hidup didepan mata yang seolah mengajak diri untuk melupakan keinginan mulia untuk menjadi guru. Apalagi saat beranjak SMA, semua cita-cita menjadi guru pupus, sirna hilang entah kemana.
Setelah lulus SMA saya 'melanjutkan hidup' sebagai pekerja. Saat itu 'boro-boro' bisa kuliah, untuk bertahan hidup saja keluarga kami harus bermigrasi dari Petamburan Jakarta menuju Desa Binong di Tangerang. Tahun 1990an Binong tak segemerlap saat ini, Binong bagaikan daerah terisolir, listrik tak ada, jembatan ke perumahaan itupun hanya terbuat dari batang kelapa. Impian untuk kuliah pun harus tandas dan berganti dengan impian mencari pekerjaan. Akhirnya saya mendapatkan pekerjaan sebagai Quality Controll di salah satu perusahan besar di Tangerang. Tahun 2008 perusahaan itu bangkrut saya pun terkena PHK massal akhirnya dengan pesangon yang ada saya berbisnis. Wirausaha terus saya 'lakoni' mengikuti pertemuan di hotel mewah dan pergi keluar negeri menjadi hal biasa saat itu. Tapi hati saya hampa, setiap bangun tidur dan mau tidur yang saya kalkulasi hanya laba dan rugi, otak saya hanya dipenuhi oleh bagaimana cara meraup keuntungan, dunia lagi, dunia lagi dan dunia lagi. Saya terjebak dengan gaya berpikir matrealistis, berapa penghasilan saya satu tahun kedepan, berapa nilai aset yang saya miliki dua tahun kedepan. Padahal sukses dan bahagia itu tidak hanya dinilai dengan rupiah. Ada rasa lelah dan letih saat merasakan semua yang dijalani seolah tiada arti. "Ya Allah hidup ko begini amat!. Itulah dialog yang sering saya dengar antara hati dan pikiran saya.
Dewan Guru SDIT ASSALAM |
Lalu bagaimana saya bisa 'terpaksa' menjadi guru?. Tahun 2010 setelah 2 tahun menyelemi dunia 'bisnis' saya pun ditawari menjadi 'guru' oleh teman saya "Abdurohim" yang istrinya kebetulan menjadi guru di SDIT Assalam. Lamaran telah saya titipkan dilengkapi berbagai ijazah kursus yang sering saya ikuti saat menjadi karyawan dulu. Anehnya saat wawancara kerja justru saya tak hadir, saat itu saya ada proyek training dengan PT. YKK AP Indonesia di lembaga Bina Insan Mulia. Syetan saat itu ikut bersumbangsih menggoda 'Ngapain jadi guru, bisnis aja penghasilan sudah 3 kali lipat!". Syetan terus melakukan propaganda sampai akhirnya Kepala Sekolah saat itu Pak Bukhori menelpon dan menanyakan ketidakhadiran saya dan menunggu keesokan harinya untuk datang. Esoknya saya datang menghadap dan mulai detik itu juga saya bergabung menjadi guru komputer di sekolah tersebut. Banyak teman teman bisnis yang kaget mendengar saya memutuskan menjadi guru sampai mereka menyebut saya tersesat dijalan yang benar, entah apa maksudnya mereka yang tahu.
Menjadi guru ternyata luar biasa, saya belajar banyak hal di SDIT Assalam, belajar dari murid dan juga belajar dari pimpinan serta rekan rekan kerja. Ternyata mencari inspirator dan motivator itu mudah tak harus mengeluarkan ratusan ribu rupiah untuk mengikuti training dengan trainer ternama, para inspirator ternyata ada disekeliling kita. Saya belajar banyak tentang cara memimpin dari Pak Bukhori, serta belajar etos kerja dari rekan saya Bu Yulia, Bu Neneng dan Pak Nurzaman serta belajar banyak hal dari teman teman yang lain. Saat diterima menjadi guru beberapa minggu kemudian saya melanjutkan kuliah pendidikan guru. Ternyata semakin banyak belajar semakin kita tersadar akan banyaknya kekurangan diri.
Setelah bertahun tahun mengabdi di SDIT Assalam akhirnya saya memutuskan untuk menerima tawaran pak Dodi teman lama saya yang saat itu mengajar di Al-Azhar Syifa Budi untuk menitipkan lamaran kerja. Mendengar kata 'Al Azhar' seolah terbius dengan nama besarnya. Di tempat yang baru saya belajar banyak hal. Belajar etos kerja yang luar biasa ditahun awal saya bergabung dan budaya sekolah yang jauh berbeda dari sekolah sebelumnya. Banyak inspirator disini ada Pak Isro, Pak Kusnadi, Pak Heri, Pak Mahdi, bu Lulu dan seluruh rekan kerja yang membimbing saya banyak hal baru di sekolah ini. Disekolah ini saya belajar bahwa "Kita yang harus beradaptasi dengan lingkungan bukan lingkungan yang dituntut untuk beradaptasi dengan kita".
Hari ini tepat dihari guru, kembali saya merenung, tentang 'keterpaksaan' yang saya ikhlaskan. Bukan saya tak mau seperti teman bisnis saya dulu Pak Felix yang kini sukses memiliki rental mobil beromset ratusan juta perbulan, bukan pula tak mau berkarir cemerlang seperti teman saya Pak Ivan yang kini menjadi General Manager diperusahaan retail terbesar di Indonesia. Atau teman teman lain yang memiliki aset banyak dan rumah mentereng. Tapi ada panggilan jiwa dalam menjalani profesi saat ini. Meskipun saya sadar, saya memilih profesi guru bukan karena saya mahluk sempurna, tetapi diprofesi inilah saya merasakan hidup penuh makna. "Selamat hari guru bagi rekan rekan seperjuangan dimanapun berada".